Sawah Bertingkat Warisan Alam Dunia di Jatiluwih
Jatiluwih
sebagai obyek wisata alam sesungguhnya sudah dikenal sejak kekuasaan Belanda di
Bali (1910-1942), karena di sebelah Barat Desa Jatiluwih Belanda sempat
mendirikan markas Besar Keamanan Belanda yang pada jaman itu sampai saat kini
oleh masyarakat sekitarnya tempat itu disebut sebagai Tangsi Belanda.
Pemerintah tetap mencanangkan Jati Luwih untuk diarahkan sebagai obyek wisata
Desa dalam rangka memacu arus kunjungan wisatawan yang semakin hari semakin
meningkat disamping sset yang telah ada berupa keindahan alam dengan kesejukan
hawanya, beserta hamparan sawah yang membentang berundak-undak, sebagai salah
satu bentuk daya tarik wisatawan.
Kawasan
persawahan Jatiluwih dianggap pas dengan kebijakan pengembangan pariwisata
berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam,
sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa
pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan
terutama lahan pertanian. Agrotourism istilah untuk pariwisata model ini
merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara
pertanian dan pariwisata.
Tantangan Bagi Pelestarian
Namun dibalik segala
keindahannya, kawasan Jatiluwih masih memiliki beberapa problem pelik yang
sebenarnya cukup memprihatinkan. Antara lain banyaknya petani di kawasan
tersebut yang mengeluh kurangnya intensif bagi mereka yang telah menghabiskan
banyak biaya untuk menjaga kawasan persawahan di tempat tersebut.
Masalah lain
adalah masih minimnya kualitas infrastruktur yang dapat menunjang lancarnya
kegiatan pariwisata. Untuk mencapai kawasan tersebut harus melalui jalan yang
cukup sempit dan berliku yang diperparah dengan kerusakan jalan di sana-sini
sehingga cukup mengganggu perjalanan kesana. Di lokasi persawahan, fasilitas
penunjang juga terhitung minim.Meskipun Sedikit
sekali fasilitas toilet yang memadai sehingga para pengunjung yang ingin buang
air kecil misalnya terpaksa harus mencari tempat di alam terbuka. Sungguh
ironis melihat daerah yang dikenal sebagai lumbung berasnya Bali
tersebut terkesan tidak terjamah pengembangan infrastruktur.
Hal lain, di
sekitar lokasi tersebut banyak ditemui peternakan ayam bahkan beberapa dapat
ditemui di lokasi persawahan dan mengurangi lokasi yang menjadi ‘jualan’ utama
di Jatiluwih. Alhasil selain mengganggu pemandangan, bau tak sedap dari kotoran
ayam tersebut juga menimbulkan pencemaran udara di sekitar lokasi. Tentu hal
tersebut akan mengurangi kenyamanan para pengunjung yang ingin menikmati
pemandangan.
Masih banyak hal yang patut dilakukan oleh Pemkab
Tabanan sebagai pengelola kawasan Jatiluwih.
Tentu tugas besarnya adalah bagaimana mengembangkan potensi pariwisata
di Jatiluwih semaksimal mungkin dan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya
tetapi juga jangan sampai merusak kealamian di lokasi tersebut sebagai hal
utama yang harus dijaga.
Comments
Post a Comment