Potensi Wisata Desa Munduk (2), Penginapan Puri Lumbung yang Jadi Pelopor
------
Lewat penginapan Puri Lumbung yang dirintasnya, perlahan
jasa akomodasi wisata di kawasan Desa Munduk mulai berkembang dengan pesat
hingga sekarang. Seperti diakui putri Nyoman Bagiarta, Yudhi Ishwari, yang kini
mengelola Puri Lumbung. Dikatakan tahun 1992, Puri Lumbung mulai dibangun
dengan awalnya hanya berupa penginapan sederhana dengan kamar yang berjumlah
tak lebih dari lima
buah.
Diceritakannya, ketika itu sang ayah punya keinginan untuk
mempromosikan Desa Munduk guna memberikan pilihan bagi para wisatawan yang
berkunjung ke Bali, agar tak melulu terkonsentrasi hanya di Bali
selatan saja. “Memberi pilihan karena wisata di sini berbeda tipenya dengan
katakanlah di Kuta atau Nusa Dua. Jika di sana citranya riuh dan glamor, di sini
kita lebih menjual ketenangan dan kesejukan, termasuk mereka yang ingin
berwisata spiritual, menyepi, relaksasi, meditasi dan sejenisnya,” ujar Yudhi.
Segmen Berbeda
Segmen para wisatawan pun menurutnya juga berbeda, karena
kebanyakan merupakan wisatawan asal Eropa, terutama berusia matang yang ingin
mencari suasana baru yang tenang dan alami yang berlawanan dengan hiruk pikuk
di Bali selatan. Untuk itu dijelaskannya,
fasilitas-fasilitas yang ada di Desa Munduk pun sebisa mungkin dikondisikan
demikian agar kesejukan dan ketenangan yang menjadi jualan utama tetap pada
treknya.
“Tidak pas rasanya jika yang dibangun di sini adalah hotel
megah dan mewah, malah akan merusak alam di sekitarnya. Warga setempat juga
sudah sangat mengerti hal tersebut hingga mereka juga berkomitmen besar menjaga
apa yang ada sekarang dan syukurnya sampai sekarang efek-efek negatif
pariwisata yang ditakutkan banyak orang masih berada dalam taraf minimal di
Munduk,” tuturnya.
Menurut Yudhi juga, perkembangan wisata berbasiskan alam di
Munduk juga memberikan dampak positif pada warga setempat yang tentunya
kecipratan rezeki dari mengalirnya wisatawan ke desa mereka. “Bahkan banyak
juga warga, anak muda yang sebelumnya merantau ke kota , pulang lagi untuk mengembangkan wisata
di desanya sendiri, buka usaha kecil-kecilan sehingga menghidupkan kembali
perekonomian desa,” tuturnya.
Hal tersebut menurutnya sudah sejalan dengan keinginan
ayahnya yang dulu bermaksud menahan dan memulangkan kembali generasi muda desa
yang bekerja di kota
untuk kembali bekerja dan mengembangkan desa sendiri. *
---------------
Menikmati Secangkir
Kopi Luwak Munduk
Perkebunan kopi yang bersebelahan langsung dengan hutan
membuat binatang malam tersebut seringkali mencari makan ke perkebunan warga
dan memakan biji kopi jenis arabica berwarna merah. Seiring dengan booming-nya kopi luwak, belasan hingga
puluhan ekor luwak sengaja dibiarkan hidup liar dan ‘mengunjungi’ kebun warga
dengan maksud memperoleh kotorannya. Luwak liar ini setiap hari memakan buah-buah
kopi yang memerah di pohon. Setiap pagi, satu dua pekerja akan mengumpulkan
kotoran luak yang berupa biji-biji kopi untuk dibersihkan, dijemur, lalu
disangrai.
Ketika musim panen kopi, dengan mudah wisatawan melihat dan
ikut memetik biji kopi yang tidak sempat dimakan luwak. Biji-biji kopi yang
sudah dipetik lalu direndam dalam sebuah bak air sebelum dijemur, proses
pemisahan kulit ari hingga proses sangrai. Kita juga dapat menyaksikan proses
sangrai kopi yang memang banyak disediakan dalam paket trekking wisatawan. Warga Munduk menjual kopi mereka dalam bentuk
biji dan dalam bentuk bubuk kopi yang sudah terkemas rapi.
Paduan yang Pas
Menikmati secangkir kopi nikmat beraroma tentu menjadi
paduan yang pas di tengah dinginnya udara sembari menyaksikan keindahan alam
Desa Munduk. I Nyoman Budi Artama, pemilik salah satu tempat pengolahan dan
gerai kopi luwak dengan label ‘Kopi Luwak Munduk’ mengatakan, banyak wisatawan
kesengsem dengan citarasa kopi luwak yang lembut dan relatif ringan di perut
namun tetap menawarkan citarasa menawan. “Banyak wisatawan Jerman, Prancis dan
lainnya yang berkali-kali datang untuk kembali menikmatinya di sini,” akunya.
Dijelaskannya, sebelum kopi luwak meledak seperti sekarang,
kopi jenis ini justru menjadi hasil sampingan dan hanya dikonsumsi warga
setempat. “Hasil panen kopi semuanya untuk dijual, sedangkan untuk konsumsi
sendiri warga memunguti biji-biji kopi yang tercecer termasuk dari kotoran
luwak,” jelasnya.
Meski banyak pemesanan termasuk untuk keluar negeri, Artama
mengaku tidak bisa memenuhi semua permintaan karena stok yang terbatas untuk
kopi yang terkenal mahal ini. “Karena kalau ingin menghasilkan yang benar-benar
alami, harus berasal dari luwak liar. Jika berasal dari luwak yang dikandangkan, pasti akan beda
rasanya karena yang ada luwak tersebut akan stres dan malah tidak menghasilkan
enzim-enzim khusus untuk mencerna kopi akan halnya luwak liar,” tandasnya. *
------------
videoslot by youtube,cute videoslot by youtube,cute videoslot
ReplyDeleteyoutube,cute videoslot. youtube,cute videoslot by youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot, youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube playlist to mp3