Denpasar, Kota yang Sarat Jejak Sejarah
DENPASAR adalah kota yang kental dengan
nilai sejarah dan sarat dengan jejak sejarah. Tahun ini, kota yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi
Bali sejak 1958 ini genap berusia 226
tahun. Dengan masa panjang yang telah dilaluinya, ditambah rezim dan
pemerintahan yang berganti-ganti, wajar jika Denpasar punya banyak peninggalan
yang menjadi saksi bisu sejarah.
-----
Denpasar mengalami perkembangan yang begitu pesat dari masa ke masa. Dengan tingginya
nilai sejarah dan budaya, tak heran Denpaar kini tercakup dalam jejaring Kota
Pusaka Indonesia (JKPI) sekaligus menjadi anggota tetap The
Organizational of World Haritage City (OWHC) yang melibatkan lebih dari seribu
kota di dunia pada tahun 2013.
Kriston Rasmanto
dalam bukunya berjudul Back To Bali, Kembali Berlibur ke
Bali (2004) mendeskripsikan Denpasar sebagai kota sejarah dan budaya. Denpasar sebagai kota sejarah tampak dalam monumen-monumen perjuangan
masyarakat Bali terhadap kaum kolonial,
seperti patung pahlawan I Gusti Ngurah Rai, peringatan perang Puputan Badung
dan Margarana yang diperingati setiap tahun.
Kecuali itu, Denpasar juga
merupakan kota
budaya. Hal ini berupa kekayaan adat, sopan santun dalam berbahasa,serta
menampilkan Hindu Bali dalam hidup keseharian, pusat penyelenggaraan Pesta
Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan setiap tahun dalam waktu satu bulan
Dibanding Singaraja
Jika dirunut, perkembangan
Denpasar diawali dari kebijakan pemerintah kolonial menjadikan Denpasar sebagai
pusat pemerintahan untuk wilayah Bali Selatan, walau tidak dinyatakan sebagai
ibukota keresidenan, yang dalam hal ini distatuskan pada Kota Singaraja di kawasan Bali Utara.
Dibandingkan
Singaraja, di awal abad XX, Denpasar memang kalah dalam berbagai hal, termasuk
dalam tata fisik kotanya. Namun dalam perkembangannya, setahap demi setahap,
Denpasar mulai berkembang dan menunjukkan kelebihan-kelebihannya sehingga di
tahun 1950-an pemerintah terpaksa mengalihkan pusat pemerintahan dari Singaraja
ke Denpasar, dan jadilah Denpasar menanggung tugas sebagai ibu kota Propinsi Bali dan Kabupaten
Badung.
Contoh perkembangannya
adalah pembangunan fasilitas-fasilitas untuk sektor perdagangan yang diawali
dengan pembangunan sarana dan prasarana ekonomi seperti pembangunan laut Benoa pada
tahun 1908 (yang kemudian disusul pembangunan jalan raya dari Pesanggaran
menuju Benoa pada 1913-1919, Denpasar menuju daerah Tabanan, Abiansemal, Sanur,
Kesiman, dan Kuta. Dilanjutkan dengan pembangunan Dam Oongan (1914-1921). Dalam
waktu nyaris bersamaan dibangun Dam Praupan (1920-1924) untuk membersihkan Kota
Denpasar.
Sebagai
pendukung, dibangun pula saluran air dan selokan. Sedangkan Dam Mambal dibangun
1926-1927. Selain itu, Departement voor Verkeer en Waterstaat pada tahun 1930 juga
membangun lapangan terbang di Desa Unggasan (Klasiran Kali) dan pada 1933
dipindahkan ke desa Tuban plus Pembangunan Bali Hotel di 1928 menjadikan
Denpasar kian lengkap prasyarat Denpasar sebagai sebuah kota.
Tiga Komunitas
Sementara itu,
dalam perkembangannya Denpasar juga tumbuh menjadi kota yang sangat heterogen dengan
kedatangan orang-orang asing terutama Cina dan Arab. Dua komunitas ini mendapat
tempat pemukiman khusus di dekat pusat Istana Denpasar dan dekat Tukad Badung,
tempat di mana mereka mendirikan sebuah masjid. Ada juga tempat pemukiman
orang-orang Jawa yang disebut Kampung Jawa, yang merupakan relokasi pemukiman
dari sekitar Peken Payuk ke batas utara Banjar Wangaya Kaja dan Banjar Balun.
Pemukiman orang-orang non-Bali tersebut kini menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari Kota Denpasar.
Ketiga komunitas
itulah yang kemudian menggerakkan kehidupan masyarakat. Orang-orang Cina
mengembangkan Denpasar melalui perdagangan kelontong, dengan memperkenalkan
berbagai barang-barang produksi massal, yang menjadi simbol modernitas.
Orang-orang Arab melanjutkan perdagangan konvensional di bidang sandang, sedangkan
orang-orang Jawa lebih banyak bergerak di bidang perdagangan eceran,
warung-warung, dan jasa. Konsumen mereka adalah masyarakat Bali
mulai dari petani, pegawai negeri, dan buruh, tentu juga di antara mereka
sendiri.
Aktivitas
ekonomi ini berlanjut dengan pembukaan Bali Hotel. Dari sini berlanjut ke
aktivitas budaya dengan munculnya sentra-sentra kesenian rakyat profit oriented seperti seni tari,
gamelan, lukisan, ukir, emas, dan perak di berbagai banjar di lingkungan
Denpasar, menjadikan Denpasar sebagai kota budaya yang menarik untuk dikunjungi.
* NOE
-----------
Berwisata di Kota Tua...
DENGAN sejarah
panjangnya, beberapa kawasan di Denpasar pun kini menjelma menjadi lokasi
wisata sejarah yang menarik atau yang populer dengan sebutan wisata kota tua. Misalnya
kawasan perdagangan sekaligus pusat kota
koridor Jalan Gajah Mada, branding-nya
adalah kawasan kota tua. Bangunan-bangunan berusia tua yang berjejer di
sepanjang Jalan Gajah Mada memang terasa tepat untuk mengusung branding sebagai kota tua. Apalagi
ditambah ornamen berupa lampu-lampu hias bergaya klasik dan tanaman kamboja
yang belakangan ini mulai mempercantik sepanjang jalan.
Menyusuri Jalan
Gajah Mada yang jauh sebelum zaman kemerdekaan memang merupakan kawasan pusat
perdagangan, maka akan terasa nuansa tempo dulu akan sangat terasa. Toko-toko tekstil, elektronik,
barang antik, dan lainnya tetap mempertahankan kondisi aslinya di kawasan
yang juga dikenal sebagai pecinannya Denpasar ini. Di sini pula letak pasar
terbesar di Denpasar; Pasar Badung. Hanya saja beberapa kendaraan yang parkir
di trotoar cukup mengganggu, padahal sepanjang jalan ini telah terpasang rambu
dilarang parkir. Agaknya perlu usaha ekstra untuk membuat kawasan ini terlihat
lebih rapi dan ramah bagi pelancong yang ingin menikmati kawasan tersebut
dengan berjalan kaki.
Di kawasan ‘kota tua’ ini pula, di
dekat Pasar Badung ada sebuah toko atau kedai kopi yang telah ada sejak 1935. Menikmati
secangkir kopi di toko bernama Bhineka Djaja ini bisa menjadi cara paling tepat
untuk menikmati nuansa kota
tua. Selain menjual kopi Bali legendaris dengan merek Butterfly Globe Brand atau Kupu-kupu Bola Dunia, di sini juga dijual
bermacam kopi dari berbagai penjuru Indonesia.
Kota Kolonial
Selain kawasan
Gajah Mada, di beberapa lokasi juga mempertegas kesan Kota Denpasar sebagai ‘kota
kolonial’ seperti kehadiran gereja, bangunan kantor dan juga tempat rekreasi
seperti Museum Bali (1910) dan Kantor Gubernur Jendral Wilayah Bali-Nusra (kini
Gedung Kodam IX Udayana) dan juga fasilitas akomodasi seperti Bali Hotel yang
merupakan hotel pertama di Bali.
Selain peninggalan cagar budaya
yang berasal dari masa kolonial, di pusat Kota Denpasar juga terdapat
warisan-warisan lainnya yang mengandung nilai historis dan filosofis keagamaan
yang terlihat dengan keberadaan Pura Jagatnatha, Puri Satria, Puri
Pemecutan, Jero Kuta dan puri-puri pendukung lainnya serta Pasar Payuk beserta
aset budaya yang diperjualbelikan.
Kampanye
jelajah Denpasar sebagai pusaka budaya pun belakangan makin giat
disosialisasikan. Jelajah Pusaka Budaya ini mencakup ikon Kota Denpasar yakni kawasan heritage yang terbentang dari Puri
Agung Pemecutan hingga Puri Agung Satria. Hasil zoning digital yang
telah dilakukan oleh Kader Pelestari Budaya berhasil membuktikan bahwa kawasan
tersebut membentuk garis dengan formasi huruf ‘Z’.
Email saya : kristonbali@.com
ReplyDeleteterimakasih atas komentar tentang buku saya Back to Bali
Semoga Anda sukses selalu
salam Kriston (Author)
GAMES POKER & DOMINO ONLINE TERBESAR DI ASIA
ReplyDeleteBANDAR Q | DOMINO 99 | ADU Q | BANDAR POKER | POKER | CAPSA SUSUN | SAKONG
MEMBERIKAN BONUS TERBESAR !!
- CASHBACK 0.3%
- REFFERAL 15%
- JACKPOT !!
- MINIMAL DEPOSIT & WITHDRAW 20RB
- BEST SERVER FOR GAMBLING NO ROBOT !
- PLAYER VS PLAYER
- FAST PROSES !
- CS ONLINE 24 JAM
TUNGGU APA LAGI ? AYOO SEGERA BERGABUNG BERSAMA KITA
JANGAN LUPA AJAK TEMAN - TEMANNYA SEKALIAN YAA www(.)JuraganQQ(.)net
- SALAM KAYEEH JURAGANQQ -
What language is this?
ReplyDelete