Made Kedol Subrata "Gedung DPRD Itu Jadikan Museum Saja!"
SENIMAN mungkin menjadi
sebuah profesi yang jamak ditemui di Pulau Bali.
Atmosfer berkesenian yang sangat kental membuat orang-orang Bali begitu dekat
dengan seni, seperti mengalir di dalam darah setiap orang Bali.
Apalagi jika melihat Kabupaten Gianyar, daerah yang disebut sebagai pusatnya
kesenian di Bali dan juga dikatakan sebagai
kampung seniman, seni begitu mendarah daging dan hampir bisa ditemui di tiap
sudutnya.
Made Subrata atau yang lebih
dikenal dengan nama Made Kedol (istilah ‘kedol’ menggambarkan bahwa ia adalah
seorang bertangan kidal, red) menjadi salah satu contoh yang tepat, seperti apa
seniman yang semata-mata menerjunkan dirinya di dunia seni, khususnya seni
lukis. Pria kelahiran Desa Teges, Gianyar, pada 1950 ini tampil
bersahaja, dengan misai dan jenggot yang dibiarkan panjang, memenuhi hampir
separuh wajahnya. Meski begitu, keramahan yang diselingi dengan gelak tawa
ketika berbincang menunjukkan sifat yang bersahabat bagi semua orang.
Ditemui saat berkunjung ke rumah merangkap studio pelukis yang dikenal
dengan teknik melukis spaghetti technique
ini, Made Kedol dalam kesempatan tersebut
secara santai bercerita tentang riwayat hidupnya, tentang karya-karyanya serta
berbagai pandangannya dalam isu-isu terkini, di Kabupaten Gianyar khususnya.
Berikut petikannya.
Selain
melukis, apa lagi kesibukan Anda?
Bisa dikataan
saya sekarang full melukis, bahkan
hampir tak pernah keluar. Sehari saya biasa melukis selama delapan jam. Mungkin
karena sudah maniak, kalau tidak dapat melukis selama delapan jam rasanya ada
yang kurang. Tapi saya juga bukan tipe pelukis yang harus mencari mood tertentu dalam melukis atau perlu
mengurung diri, saya relatif lebih bebas. Barangkali hanya saya saja pelukis
yang tidak pernah terganggu dalam proses melukis, siapa saja boleh melihat atau
ngobrol selama saya melukis.
Bisa sedikit
diceritakan asal mula teknik melukis Anda yang disebut ‘spaghetti technique’?
Ini bermula ketika
saya berada di Yogjakarta. Untuk menyambung hidup di sana, saya harus mencari kerja dan akhirnya
saya bekerja di tempat pembuatan batik. Nah, di sana sekaligus belajar membatik dengan
berbagai peralatannya seperti canting dan malam.
Ketika itu saya tertarik dengan motif yang dihasilkan di atas kain, yakni
berupa gambar timbul. Sejak saat itu saya terinspirasi untuk mengaplikasikan
teknik tersebut dalam sebuah lukisan di atas kanvas, menghasilkan lukisan yang
‘timbul’. Ditambah saya juga selalu berkeinginan untuk menjadi seorang pelukis
yang memiliki ciri khas tersendiri. Lalu beberapa waktu berselang, saat saya
sedang berada di rumah, suatu ketika saya melihat selembar plastik di halaman
dan ketika itu saya tercetus ide untuk memanfaatkan plastik tersebut sebagai
sarana, sebagai pengganti kuas. Plastik tersebut saya bentuk kojong dan diisikan cat kurang lebih
mirip seperti orang membuat kue. Setelah dicoba-coba ternyata berhasil dan saya
gunakan sampai sekarang, hingga hampir tak pernah lagi menggunakan kuas.
Terkait nama ‘spaghetti
technique’ itu?
Terkait nama,
waktu pertama kali saya namakan lukisan saya sebagai lukisan benang kusut
karena saling bertumpuk dan mengait. Tapi ketika saya berkesempatan ke Swiss
bersama beberapa pelukis lain, seorang kurator di sana menyebut lukisan saya dengan spaghetti technique. Sejak saat itu
teknik melukis saya dikenal dengan nama tersebut. Saya juga terus mengadakan
perbaikan-perbaikan untuk menyempurnakan lukisan dengan gaya seperti ini, seperti mencari komposisi cat
yang pas hingga membuat dasar lukisan yang tepat, yang tidak mudah rontok.
Sebagai
seniman yang menetap di Gianyar Timur, bagaimana pandangan Anda tentang daerah
ini? Mengapa perkembangannya tidak seperti kawasan Gianyar Barat?
Sesungguhnya Gianyar Timur juga memiliki potensi
yang sama dengan Gianyar Barat, hanya saja belum dikelola secara baik atau
masyarakatnya belum kreatif memberdayakan potensi daerahnya. Saya pribadi
memiliki keinginan untuk menjadikan daerah ini sebagai pusat museum seperti
yang saya lihat di Kota Basel, Swiss. Kota
tersebut sebenarnya merupakan kota
kecil namun sangat terkenal dan menjadi daerah tujuan wisata karena memiliki 99
buah museum. Biarkan Ubud dan kawasan Gianyar Barat lain menjadi daerah budaya
dan seni, sedangkan Gianyar Timur dijadikan pusat museum. Gedung DPRD yang
berdiri megah juga lebih baik jika dijadikan museum saja, lebih ada manfaatnya
bagi masyarakat. Selain itu saya kira daerah ini juga berpotensi besar di
bidang wisata kuliner.
Comments
Post a Comment