Nostalgia Di Jalan Gajah Mada
KOTA Denpasar, sebuah kota yang menjadi pusat
Pulau Bali, dikenal sebagai pusat pemerintahan serta pusat kegiatan ekonomi.
Menempati luas wilayah 127,78 km², Denpasar seperti halnya ibu kota pada umumnya menjAdi miniatur
dari sebuah provinsi dan hal tersebut dapat dilihat dari penduduknya sebagian
besar datang dari segala penjuru Pulau Bali demi memperoleh penghidupan yang
lebih baik.
--------
Bicara tentang Kota Denpasar,
mungkin yang lokasi yang paling tepat menggambarkannya adalah kawasan Jalan
Gajah Mada. Kawasan yang berada di jantung Kota Denpasar tersebut merupakan
lokasi yang digadang-gadangkan menjadi primadona dari Kota Denpasar.
Di jalan selebar 10 meter dan
panjang kurang dari satu kilometer tersebut, denyut nadi kota Denpasar dengan segala hiruk pikuknya
dapat dirasakan. Kehadiran kawasan ini mungkin bisa disejajarkan dengan kawasan
Malioboro di Yogjakarta bila dilihat dari sisi historis maupun segi ekonimisnya.
Jalan Gajah Mada merupakan
sebuah kawasan perniagaan Denpasar yang bahkan telah ada sebelum Zaman Kolonial
yang dipadati oleh aneka macam toko seperti toko kelontong dan toko kain di kiri-kanannya.
Seiring perkembangannya, toko olahraga, toko elektronik, bank hingga dealer
otomotif juga hadir menyemarakkan kawasan Gajah Mada.
Dua Pasar
Hadirnya dua pasar yakni
Pasar Badung dan Pasar Kumbasari juga menunjukkan geliat Gajah Mada sebagai
pusat perniagaan. Pasar ini, tempat masyarakat Kota Denpasar dan sekitar
melebur melakukan aktivitas jual-beli, aktivitasnya nonstop selama 24 jam.
Berbagai macam kebutuhan
pokok sehari-hari dan kelengkapan lainnya dijajakan sebagaimana pasar pada
umumnya tentu dengan ciri khas khusus yakni banyak ditemukan kelengkapan
upacara dan upakara yang dibutuhkan
dalam tradisi masyarakat Hindu di Bali. Walaupun tak ada niat berbelanja, tak
ada salahnya untuk sejenak memasuki kawasan pasar ini sekadar menikmati segelas
es daluman atau semangkok bubur
kacang hijau sembari merasakan khasnya suasana dan keramaian pasar.
Kawasan Kumbasari ini dulu
pernah populer sebagai tempat favorit bagi anak muda untuk menghabiskan akhir
pekan apalagi (saat itu) juga ada gedung bioskop. Namun kini, kehadiran
pusat-pusat perbelanjaan modern serta hilangnya bioskop tersebut lambat laun
membuat hal tersebut menghilang. Kini, hampir tidak bisa ditemui anak-anak muda
yang nongkrong di kawasan ini, hanya kaum ‘ibu-ibu’ atau ‘bapak-bapak’ saja
yang terlihat hilir mudik.
Ciri Bangunan
Seperti sudah disebutkan,
kawasan Jalan Gajah Mada ini telah ada sejak zaman dulu dan sisa-sisanya masih
bisa dilihat jika kita menyusuri sepanjang jalan dengan berjalan kaki melalui
pedestrian yang dihiasi pohon-pohon jepun.
Ciri tersebut terlihat dari arsitektur
bangunan di beberapa toko yang masih mempertahanan ciri bangunan bergaya kolonial
atau dikenal juga dengan gaya
victorian. Walaupun terkesan sedikit kusam, nuansa klasik masih
jelas terasa dari fisik bangunan-bangunan yang telah berdiri melewati waktu
yang panjang tersebut.
Di ujung timur Jalan Gajah
Mada, kita akan menemui patung Catur Muka yang berdiri tegak di tengah
perempatan. Patung ini merupakan lambang
Kota Denpasar yang setiap wajahnya menunjukkan ke-4 arah mata angin. Di sekitar
patung ini cukup sejuk dengan hadirnya pohon-pohon perindang dan dapat ditemui
juga kursi-kursi taman yang bisa digunakan untuk sejenak beristirahat. Patung
yang juga merupakan titik 0° Kota Denpasar ini akan terlihat lebih indah di malam
hari karena adanya lampu berwarna-warni.
Kawasan ‘Heritage’
Sejalan dengan citranya
sebagai kawasan dengan nilai historis tinggi, muncul gagasan untuk menjadikan
kawasan Gajah Mada sebagai kawasan heritage
atau warisan budaya. Sejak awal Desember 2008 di ujung barat Jalan Gajah Mada
dipasang tanda yang bertuliskan ‘Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar’.
Tanda yang mirip dengan
prasasti berukuran besar itu dipasang di pojok utara dan selatan ujung barat
jalan. Prasasti ini bisa terlihat jelas oleh masyarakat yang memasuki kota dari arah barat (Jalan
Wahidin) dan Utara (Jalan Sutomo) dan yang datang dari arah selatan (Jalan
Thamrin). Sinar lampu disorotkan ke arah tanda itu sehingga terang terbaca
malam hari.
Namun sayang, di balik itu
semua, beberapa masalah masih menghinggapi jalan ini. Sebagaimana yang jamak
ditemui di jalan-jalan protokol di kota-kota besar kemacetan menjadi sebuah
masalah pelik termasuk juga jika berbicara tentang Jalan Gajah Mada. Hampir
sepanjang hari kemacetan melanda jalan ini, terutama di waktu-waktu puncak
kesibukan masyarakat.
Persempit Jalan
Penambahan pedestrian di
kiri-kanan jalan juga seperti pisau bermata dua. Di satu pihak kehadirannya
membuat para pejalan kaki dan wisatawan menjadi nyaman menyusuri jalan naun di
lain pihak kehadirannya justru mempersempit badan jalan yang otomatis
memperparah kemacetan.
Beberapa pemilik toko pun
sepertinya tidak terlalu respek dengan adanya pedestrian tersebut karena justru
menurunkan penjualan mereka. Para konsumen
disebut kini agak enggan berbelanja karena kesulitan untuk parkir di depan toko
yang dilalui pedestrian karena sepanjang pedestrian tersebut merupakan kawasan
bebas parkir.
Alhasil, kehadiran toko-toko tersebut tak ubahnya semacam ‘properti’
bagi kawasan Gajah Mada dan menghapus sisi utamanya sebagai kawasan ekonomi.
Agaknya, permasalahan-permasalahan ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut
dari pihak terkait. Agar kelak, Pihak Pemkot Denpasar atau warga kota dengan enteng bisa
melontarkan ajakan, “Yuk, kita jalan-jalan ke Gajah Mada” sebagaimana ajakan
yang akrab terlontar pada puluhan tahun silam itu…
Comments
Post a Comment