Janger Kolok Desa Bengkala,Keterbatasan yang Membawa Harum Nama Desa
“Dia senang bisa
membuat penonton gembira,” ujar Bendesa Adat Desa Bengkala, Made Sukarada menerjemahkan
bahasa isyarat Getarika. Getarika dan sebelas rekannya memang bisu dan tuli
sejak lahir. Namun hal tersebut tak menyurutkan penampilan Paguyuban Janger
Kolok (kolok berarti bisu-tuli dalam bahasa Bali )
Desa Bengkala Gedung Wantilan Art Centre pada ajang PKB tahun
ini. Bahkan, sebelum naik pentas, wantilan sudah penuh sesak oleh penonton.
Getarika seperti
diterjemahkan Sukarada, mengaku sudah tiga kali tampil di ajang PKB bersama
kelompoknya. “Ia juga gembira sekali melihat penonton yang selalu antusias dan
menimati pementasan,” terang Sukarada yang ditimpali Getarika dengan mimik
jenaka serta dua jempol yang terangkat.
Getarika
bertindak selaku pemain kendang dalam pentas tersebut, sekaligus sebagai
pemimpin dari rekan-rekannya yang terdiri dari sepuluh orang pria dan dua
wanita. Lakon Arjuna Wiwaha sukses ditampilkan dengan apik lewat harmoni
sahutan dan gerakan. Semua gerakan tersaji rapi dengan aba-aba Getarika, sang
‘komandan’. Keriuhan tepuk tangan penonton bergemuruh melihat kepawaian para
penari ini memainkan gerak tari dan ekspresi wajah yang menjurus jenaka.
Seperti ketika adegan
‘Sang Arjuna’ yang diceritakan sedang bertapa digoda oleh bidadari dan kemudian
diganggu oleh raksasa, berujung pada ‘perkelahian’ kocak antara Arjuna dan si
Raksasa untuk memperebutkan sang bidadari. Gelak tawa pun pecah, menandakan
bahwa isi cerita mampu dengan mudah dicerna dan dinikmati penonton yang tidak
beranjak hingga akhir pementasan.
Tentu ada perbedaan besar dalam pentas Janger
Kolok ini dimana pementasannya tanpa dialog dari para pemainnya. Hanya ada
narasi cerita yang dibawakan koordinator Paguyuban tuli-bisu sekaligus pembina
tari, Ketut Kanta. “Perbedaan besarnya, jika pada pentas normalnya para penari
mengacu pada bunyi tetabuhan plus gerakan, disini kita murni berdasarkan
gerakan, yang dalam hal ini adalah aba-aba dari pemberi komandonya, Pak
Getarika,” jelas Kanta.
Menurutnya
merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk bisa melatih para anggota Peguyuban
Janger Kolok ini. Maklum, dengan keterbatasannya maka metode yang diapakai pun
berbeda sekali dengan latihan para seniman pada umumnya. “ Kuncinya juga pada
kesabaran. Namun untungnya mereka juga sangat antusias dalam melakukan latihan.
Saya mudah mengkoordinir karena sudah terbiasa bisa dengan mudah berkomunikasi
dengan mereka melalui gerakan dan isyarat,” jelas Kanta.
Dijelaskan
Kanta, selama ini para anggota peguyuban memang telah terbiasa mementaskan
Janger sehingga untuk ajang PKB kali ini, dirinya mengaku hanya memerlukan
waktu 3 minggu untuk melakukan persiapan dan latihan. “ Seperti yang saya
katakan tadi, mereka sangat antusias dan selalu tepat waktu saat ada jadwal
latihan. Hanya saja kita selaku pembina kadang harus sabar karena tak jarang
ada yang ‘ngambul’ dan perlu mood yang bagus untuk kembali latihan,” kata Kanta
yang juga waga asli Desa bengkala ini.
Faktor Genetis
Menengok
kebelakang, keberadaan para penyandang bisu-tuli atau kolok di Desa Bengkala
memang sudah banyak diangkat. Selama ratusan tahun, Bengkala dikenal sebagai
tempat yang banyak dihuni orang bisu-tuli. “ Sampai sekarang, di desa ini
sedikitnya ada 42 orang dari sebelas KK yang menyandang bisu-tuli,” terang Made
Sukarada, Bendesa setempat. Itu artinya Berarti sekitar dua persen dari total
2.226 penduduk Bengkala. Sebuah angka yang amat tinggi, mengingat normalnya
bisu-tuli bawaan (kongenital) hanya terjadi pada satu dari 10 ribu kelahiran.
Keunikan ini
sudah mendatangkan banyak perhatian dari penjuru dunia untuk meneliti fenomena
di Desa Bengkala ini. Seperti contohnya penelitian yang dilakukan oleh Michigan
State University bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) dan
Universitas Udayana (Unud), keberadaan warga kolok di Desa Bengkala dikatakan
memiliki keistimewaan pada gen, khususnya kromosom ke-17 yang mempengaruhi
disabilitas. Hal serupa konon juga ditemukan di India .
Sementara itu,
jurnal bergengsi Science menurunkan laporan yang komplit. Laporan ini berdasar
hasil riset yang digelar tim yang dipimpin Thomas Friedman, pakar genetika dari
Institut Nasional Ketulian dan Kesulitan Komunikasi di Bethesda, Amerika
Serikat. Grup peneliti ini juga beranggotakan Profesor I Nyoman Arhya, ahli
biokimiadari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali .
Awalnya menurut
laporan tersebut fenomena kolok diduga perwujudan dari sindrom Penren, yang bersumber dari kekurangan pasokan iodium.
Namun berdasar pohon silsilah lima
generasi yang ditelusuri dari berbagai dokumen berbahasa Sanskerta abad ke-13
diketahui bahwa orang kolok Bengkala bersumber pada mutasi genetis. Namun,
masih belum jelas kapan dan siapa yang pertama mengalami mutasi gen yang
merupakan rangkaian kode penentu sifat yang diwariskan turun-temurun.
Terkenal Lewat Seni
Karena sudah
menjadi bagian selama bertahun-tahun, keberadaan orang kolok di Bengkala pun
sudah demikian menyatu dengan warga lainnya yang notabene normal “ Sebagian
besar warga desa bisa dengan mudah berkomunikasi dengan mereka, membaur dan
melakuakn segala kewajiaban di desa dengan baik. Terlebih dalam mereka pada
dasarnya adalah para pekerja keras, jujur, periang dan tenaganya jauh lebih
besar,” jelas Kanta.
Apalagi
menurutnya, sejak diperkenalkan kepada kesenian Janger oleh seniman setempat
mendiang Wayan Nedeng pada 1968 lalu, kaum kolok Bengkala justru jadi kebanggaan
bagi desa karena sering tampil di berbagai pentas hingga hotelhotel
internasional sekaligus mengundang banyak wisatawan asing ke desa Bengkala.
“Tampil di ajang seperti PKB juga jadi salah satu sarana untuk makin
memperkenalkan desa kami, khususnya kesenian Janger Kolok ini kepada masyarakat
dan wisatawan,” tukas Sukarada.
Getarika tentu saja menjadi saksi dari perkembangan
Janger kolok ini dari masa awalnya hingga kini dan sudah berpengalaman mentas
di berbagai tempat. Namun, ia tetap saja lugu dan sederhana seperti biasanya. “
Setelah ini ia mau cepat-cepat pulang ke Bengkala karena harus mengurus
ladangnya, menyabit rumput untuk sapi, tidak sempat jalan-jalan di Denpasar,”
ujar Sukarada menerjemahkan isyarat Getarika. Isyaratnya berlanjut dengan
mengepalkan kedua tangannya dan menempelkan kedua sisinya diikuti gesture jari
seperti air yang muncrat. “ Selain itu, dia juga harus memperbaiki pipa saluran
air, karena jabatannya beberapa tahun terakhir ini adalah pengawas saluran air
di desa,” pungkas Sukarada, ditimpali acungan jempol dari Getarika.
Comments
Post a Comment