Taman Aneka Sarana Banten, Seperti Apa?
BALI
tidak bisa dilepaskan dari beragam ritual, sesajian dan upacara yang dilakukan
masyarakatnya sehari-hari. Jamak dijumpai di berbagai sudut Pulau Dewata, warga
masyarakat yang menghaturkan sesajian yang lingkupnya sesaji untuk sehari-hari
hingga yang ternasuk upacara besar ataupun piodalan.
---------
Seperti disebutkan dalam berbagai
sumber, sarana upakara di Bali (Hindu) terdiri dari air, daun, bunga, buah dan api.
Selain unsur api dan air, selebihnya adalah merupakan unsur tanaman. Bagian
tanaman yang paling banyak dipakai sebagai kelengkapan dalam upakara adalah bunga, kemudian buah dan
daun. Bunga bukan hanya semata bermakna keindahan, juga umumnya berbau harum,
sehingga dapat memberi pengaruh kesucian dan membantu pemusatan pikiran menuju
Tuhan.
Bahan-bahan untuk upakara yang berasal dari bagian tanaman
tersebut datangnya dari alam karena pada dasarnya adat di Bali
berpijak pada prinsip palemahan,
yakni menjaga hubungan selaras dengan alam. Ambil saja contoh sederhana, yakni canang, banten yang paling kecil
tingkatannya. Sebuah canang saja
memerlukan bahan lebih dari 5 macam tanaman, yaitu pohon kelapa, bunga
berbagai warna, gambir, pohon majegau, bambu, dan daun sirih.
Belum lagi jenis banten yang lebih besar tingkatannya
serta beragam jenisnya. Jika direnungkan kembali, orang Bali sangat memerlukan
banyak tanaman sebagai pemenuh kebutuhan ritual di Bali
yang tak pernah mati. Permasalahannya, kini lahan di Bali
makin lama makin menyusut karena akibat dari makin pesatnya pertumbuhan jumlah
penduduk serta arus globalisasi. Keberadaan tanaman-tanaman yang dipakai untuk
keperluan upacara di Bali pun makin tergerus.
Upaya Pendokumentasian
Belakangan, kondisi ini mulai
banyak mendapat perhatian dari kalangan pemuka agama serta para akademisi yang
merasa prihatin. Berbagai upaya pun dilakukan antara lain tercatat pada tahun 1970-an Pemda Bali menggiatkan
penyuluhan tradisi upacara kepada masyarakat. Para
penyuluh agama dan tradisi datang ke berbagai komunitas di desa-desa dan
kampung-kampung. Jenis-jenis tanaman upacara pun didokumentasikan.
Agar tidak keburu punah,
dibuatlah kebun-kebun koleksi tanaman upacara. Salah satunya ada di Kebun Raya
Eka Karya, Bedugul, Candikuning, Tabanan. Di area koleksi Pancha Yadnya itu,
225 dari 300 jenis tanaman upacara Bali
ditanam. Sementara itu, halaman Pura Dalem Renon, Denpasar, sejak beberapa
waktu lalu pun semarak dengan Taman Gumi Banten yang berisi 500 tanaman
upacara.
Konsep Taman Gumi Banten (TGB) merupakan
suatu pemikiran baru berkaitan dengan upaya membenahi taman kota di Denpasar. Gumi berarti Bumi dan banten
merupakan sarana upacara di Bali. Konsep TGB ini
memiliki keunikan tersendiri jika benar-benar dijalankan karena membuat taman kota Denpasar berbeda dengan taman kota di daerah yang lain. Jika konsep TGB benar-benar
direalisasikan, maka jangan heran bila wisatawan terpukau melihat
keanekaragaman taru premana.
Wisatawan akan tahu kalau tanaman majegau,
pule, dapdap merah, gambir, daun sugih, dan taru premana lainnya sangat akrab dengan kehidupan orang Bali. Ini akan membekas di memori siapa saja yang melihat
taman kota di Denpasar dengan konsep TGB, kalau
lingkungan di Bali penuh kesakralan.
Dalam Teks Kuno
Walaupun disebut sebagai konsep
‘baru’, sebenarnya taman yang di dalamnya berisi beraneka ragam tanaman untuk
keperluan upacara sebenarnya telah disusun di dalam kitab-kitab suci maupun
oleh para leluhur orang Bali di dalam beberapa
teks kuno. Contohnya, pengaturan penempatan atau penanaman tanaman disesuaikan
dengan pengider bhuana (putaran bumi)
terutama dilihat dari segi warna bunga atau buahnya. Tanaman medori putih, misalnya, sebaiknya
ditanam di timur atau purwa karena
sebagai perlambang dari Sang Hyang Iswara.
Lalu tanaman jambe atau pinang terdiri dari beberapa
jenis, seperti buah pinang sari, buah gangga, dan jenis buah pinang lainnya
akan lebih baik ditanam di bagian selatan atau daksina karena sebagai perlambang dari Sang Hyang Brahma. Tanaman siulan sebaiknya ditanam di bagian barat
atau pascima, banyak dipakai dalam
sara upacara kwangen dan sesajen
lainnya. Tanaman teleng biru akan
lebih baik kalau ditanam di bagian utara atau uttara, digunakan dalam setiap sesaji. Tanaman tunjung atau teratai
yang terdiri dari berbagai macam warna, yang dipakai di berbagai keperluan upakara dewa-dewi, penempatannya di
pekarangan mengikuti warnanya yaitu biru di utara, putih di timur, merah di
selatan dan kuning di barat.
Pun dengan jenis
tanam-tanaman lainnya seperti kelapa yang merupakan unsur terpenting dari berbagai
jenis kelengkapan upakara seperti
dalam padudusan, pecaruan Rsi Gana, labuh
gentuh dan pecaruan besar
lainnya. Kelapa gading (kuning) di barat untuk Dewa Mahadewa, kelapa bulan
(putih) di timur untuk Dewa Iswara, kelapa hijau di utara untuk Dewa Wisnu, kelapa
udang (merah) di selatan untuk Dewa Brahma, dan kelapa sudamala (campuran keempat warna) di tengah untuk Dewa Siwa. Jenis
kelapa yang lain dan juga digunakan dalam kelengkapan upakara adalah kelapa bojog, rangda,
mulung, dan julit. Penanamannya
di luar natah, dapat di sekitar
dapur, areal pekarangan, dan tegalan.
Hubungan Harmonis
Dengan adanya
persembahan dan sarana sesajen dalam upakara
Dewa Yadnya, yaitu persembahan kepada Dewa Nawa Sanga (sembilan dewa) adalah
Dewa Wisnu di utara dipersembahkan godem
atau jawaras, manggis, pangi daun poh atau mangga. Ke hadapan Dewa Brahma di selatan dipersembahkan jagung,
salak, pinang, dan daun manggis. Dewa Iswara di timur dipersembahkan kemiri, cereme, dan daun durian. Dewa Mahadewa
di barat dipersembahkan kelapa, jagung, dan daun duku. Dewa Siwa di tengah
dipersembahkan beras, jali, dan nanas.
Demikian pula
jenis bunga yang digunakan dalam persembahyangan disesuaikan dengan warna yang
dipilih sesuai dengan Asta Dala dan baunya harum. Beberapa jenis bunga yang
baik dipakai dalam persembahyangan masing-masing Dewa yang dipuja. Untuk Dewa
Wisnu adalah bunga kenanga atau teleng,
Dewa Brahma adalah bunga mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri,
kembang kertas merah, Dewa Iswara adalah bunga teratai putih, jepun atau kamboja putih, cempaka putih,
dan Dewa Mahadewa adalah bunga teratai kuning, cempaka kuning, kembang kuning
atau alamanda.
Melihat paparan di atas, kita memiliki gambaran jenis-jenis tanaman apa
saja yang selayaknya ditanam, apalagi jika kita masih memiliki pekarangan rumah
yang cukup luas. Minimal, dengan menanam sendiri, kita akan turut menjalankan
prinsip palemahan yakni menjalin
hubungan yang harmonis dengan alam sekaligus mengurangi ketergantungan akan
bahan-bahan yang didatangkan dari luar Pulau Bali.
Comments
Post a Comment