Penjajahan Lewat Kuliner
KETIKA sebuah keluarga bepergian di akhir pekan, terlebih jika
bersama anak-anak, maka sudah jamak ditemui keluarga tersebut akan memilih
untuk mengisi perutnya di sebuah gerai makanan siap saji. Sebuah burger dengan limpahan mayonnaise dan
keju atau sepotong ayam goreng nan gurih serta crispy sudah menjadi menu wajib. Kebiasaan ini dianggap sebagai
sebuah penegas citra keluarga modern. Pun di kalangan remaja, makanan siap saji
menjadi suatu keharusan karena dianggap lebih keren dan ‘gaul’ dibandingkan
dengan makanan lokal macam pecel, bubur ayam ataupun nasi uduk.
Semacam Sugesti
Menikmati kuliner asing, terutama yang sifatnya siap saji belakangan
ini menjadi budaya baru bagi sebagian masyarakat Indonesia golongan menengah ke
atas atau mereka yang ingin ‘dianggap’ kalangan menengah keatas. Tak peduli,
untuk makanan yang sebenarnya relatif sederhana, mereka harus menebusnya dengan
harga mahal. Pun harus diakui, kebanyakan hanya mengejar gengsi daripada
menikmati sensasi citarasa makanan ala Barat itu. Celakanya, generasi muda
sampai ke anak-anak rupanya sudah mulai terbiasa bahkan kecanduan dengan
citarasa supergurih dari makanan-makanan itu.
Embel-embel makanan ala Barat nampaknya memang menjadi
sugesti yang tertanam di benak masyarakat, padahal jika ditelisik lebih dalam
di negara asalnya justru makanan siap saji (fast
food) itu lebih condong merupakan makanan kelas bawah dengan harga
terjangkau. Namun dengan penyajian yang menarik dan sangat eye catching, makanan ini sukses jadi makanan elit di Indonesia,
terutama bagi generasi muda. Harganya pun cukup tinggi untuk ukuran kantong
orang Indonesia.
Banyak yang menganggap serbuan aneka waralaba makanan ala Barat
ini merupakan suatu bentuk terselubung penjajahan Barat secara ekonomi maupun
budaya. Tentu saja ‘amunisi’ yang digunakan bukan lagi bedil atau granat, namun
kini melalui makanan. Dampaknya, jika disadari, sangat besar. Globalisasi dan
era pasar bebas membuat perusahaan kuliner asing begitu leluasa memperluas
jaringannya melalui gerai-gerai yang kini sangat mudah ditemui di tiap sudut kota, bahkan hingga ke pelosok.
Dukungan modal yang kuat serta kemasan yang mempesona menjadi faktor pendukung
suburnya pertumbuhan waralaba asing ini.
Makanan Sampah
Dari segi ekonomi, setiap potong ayam atau donat yang
dikonsumsi tentu berperan dalam menggembungkan perusahaan-perusahaan kuliner itu
di negara asalnya. Dampak lain, citarasa yang sangat gurih akibat kaya kandungan
lemak dan garam lama kelamaan makin menempel di lidah masyarakat lokal dan
lebih jauh akan mengakibatkan ketagihan yang diakibatkan lidah terbiasa
mengecap rasa ‘luar biasa’ gurih itu. Dampaknya, kini tak jarang ditemui
anak-anak yang hanya mau makan jika menu yang disediakan adalah makanan siap
saji dan orangtua pun terpaksa memenuhi keinginan itu.
Dari kandungan gizi pun, kandungan lemak dan garam yang
tinggi sangat berpengaruh buruk pada tubuh. Belum lagi jika berbicara kandungan
gula dan zat adiktif lain yang biasa ditambahkan untuk memperkuat rasa serta
mempertahankan kondisi makanan itu dalam waktu yang lama. Maka tak heran
makanan siap saji kini identik dengan sebutan junk food atau makanan sampah, sebuah istilah untuk mendeskripsikan
makanan tak sehat dan sangat sedikit kandungan nutrisinya.
Generasi muda memang merupakan ‘mangsa’ yang diincar oleh
waralaba perusahaan kuliner asing guna menancapkan kukunya di setiap negara
yang mereka invasi. Hal ini juga berdampak tidak langsung dengan semakin
dilupakannya kuliner-kuliner lokal yang alhasil hanya dinikmati oleh mereka
yang lebih tua. Makanan lokal pun dianggap ‘kuno’ dan tidak keren bila
dibandingkan makanan ala Barat. Lama-kelamaan, resep-resep masakan yang telah
bertahan turun-temurun pun akan hilang karena tak ada yang mau melirik lagi.
Berbenah Diri
Namun, di sisi lain, beruntunglah para pelaku kuliner di Indonesia
tidak berdiam diri begitu saja melihat terjadinya ‘penjajahan’ kuliner ala Barat
ini. Kini banyak pelaku kuliner yang berinovasi dan berbenah diri sebagai
bentuk perlawanan terhadap serbuan kuliner asing. Salah satunya adalah dengan
mengemas makanan tradisional khas Indonesia menjadi lebih elit,
terutama dari segi penampilan dan gerainya. Namun, tentu saja citarasa tetap dipertahankan
sesuai dengan resep aslinya, ditambah jenis menunya yang lebih beragam.
Sebut saja sajian kuliner khas Sunda, Minang dan lainnya
yang mulai banyak merambah ke setiap daerah dengan konsep seperti ini.
Sambutannya pun cukup baik dan mulai menjadi pilihan banyak orang. Mereka
dinilai sukses menaikkan ‘gengsi’ dan martabat kuliner tradisional hingga
setara dengan makanan ala Barat. Sementara itu, para pedagang kelas kaki lima pun tak mau kalah
melalui perlawanan mereka sendiri. Contohnya, banyak kini pedagang yang
menyajikan ayam goreng tepung yang dari segi rasa beda-beda tipis dengan fried chicken ala Barat. Dan, tentu saja
harganya jauh lebih miring.
Di luar itu, ada satu momentum yang patut membuat Indonesia
berbangga. Dua hidangan khas yakni rendang dan nasi goreng ditempatkan dalam
jajaran teratas makanan paling lezat di dunia (World’s 50 Most delicious
Foods) versi CNN tahun 2011. Hal ini berdasarkan survei para pemerhati
stasiun berita CNN, yang dimuat di situs CNNGo. Survei itu dihimpun melalui
akun CNN di situs jejaring sosial Facebook.
Tak Kalah Saing
Pengakuan tersebut secara tersirat menegaskan bahwa dari segi citarasa
masakan lokal tak kalah bersaing bahkan bisa mengungguli makanan ala Barat.
Tinggal sekarang bagaimana makanan-makanan lokal tersebut terus berbenah, mulai
dari penampilan hingga segi higienisnya hingga makin mampu bersaing dan jangan
sampai tersingkir di rumahnya sendiri. Tak apalah disebut kampungan dan kolot
hanya karena memilih menyantap sepiring gado-gado, nasi lawar, soto Betawi atau sate Madura. Tak perlu malulah jadi orang Indonesia yang mencintai makanan Indonesia
yang selain lebih sehat, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap ‘penjajahan’
lewat kuliner.
Comments
Post a Comment