Sawah Bertingkat Warisan Alam Dunia di Jatiluwih

            



Desa Jatiluwih mungkin merupakan salah satu nama desa paling terkenal bahkan hingga ke penjuru dunia. Desa berhawa sejuk yang berkawasan di Kecamatan Penebel, Tabanan di kaki Gunung Batukaru ini memiliki tanah perkebunan dan persawahan yang bertingkat-tingkat atau yang disebut juga terasering sebagai gambaran dari sistem pertanian dan pengairan di Bali. Jika dilihat dari kejauhan, pemandangan ini sangatlah menawan, karena daerah dengan ketinggian 850 meter di atas permukaan laut tersebut bukanlah sebuah hamparan persawahan yang datar saja tapi berbukit-bukit.. Variasi panorama sawah berundak-undak dengan latar belakang gunung berhutan lebat, dapat dikategorikan obyek wisata alam yang sama menariknya dengan Kintamani dan danau Batur. Desa Jatiluwih berada di daerah kecamatan Penebel, kabupaten Tabanan berjarak sekitar 20 km di sebelah utara kota Tabanan atau berjarak sekitar 38 km dari kota Denpasar. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) menurut lembaga pendidikan dan kebudayaan dunia (UNESCO).
          Jatiluwih sebagai obyek wisata alam sesungguhnya sudah dikenal sejak kekuasaan Belanda di Bali (1910-1942), karena di sebelah Barat Desa Jatiluwih Belanda sempat mendirikan markas Besar Keamanan Belanda yang pada jaman itu sampai saat kini oleh masyarakat sekitarnya tempat itu disebut sebagai Tangsi Belanda. Pemerintah tetap mencanangkan Jati Luwih untuk diarahkan sebagai obyek wisata Desa dalam rangka memacu arus kunjungan wisatawan yang semakin hari semakin meningkat disamping sset yang telah ada berupa keindahan alam dengan kesejukan hawanya, beserta hamparan sawah yang membentang berundak-undak, sebagai salah satu bentuk daya tarik wisatawan.
Kawasan persawahan Jatiluwih dianggap pas dengan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism istilah untuk pariwisata model ini merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan pariwisata.

Tantangan Bagi Pelestarian 

Namun dibalik segala keindahannya, kawasan Jatiluwih masih memiliki beberapa problem pelik yang sebenarnya cukup memprihatinkan. Antara lain banyaknya petani di kawasan tersebut yang mengeluh kurangnya intensif bagi mereka yang telah menghabiskan banyak biaya untuk menjaga kawasan persawahan di tempat tersebut.

Masalah lain adalah masih minimnya kualitas infrastruktur yang dapat menunjang lancarnya kegiatan pariwisata. Untuk mencapai kawasan tersebut harus melalui jalan yang cukup sempit dan berliku yang diperparah dengan kerusakan jalan di sana-sini sehingga cukup mengganggu perjalanan kesana. Di lokasi persawahan, fasilitas penunjang juga terhitung minim.Meskipun  Sedikit sekali fasilitas toilet yang memadai sehingga para pengunjung yang ingin buang air kecil misalnya terpaksa harus mencari tempat di alam terbuka. Sungguh ironis melihat daerah yang dikenal sebagai lumbung berasnya Bali tersebut terkesan tidak terjamah pengembangan infrastruktur.
Hal lain, di sekitar lokasi tersebut banyak ditemui peternakan ayam bahkan beberapa dapat ditemui di lokasi persawahan dan mengurangi lokasi yang menjadi ‘jualan’ utama di Jatiluwih. Alhasil selain mengganggu pemandangan, bau tak sedap dari kotoran ayam tersebut juga menimbulkan pencemaran udara di sekitar lokasi. Tentu hal tersebut akan mengurangi kenyamanan para pengunjung yang ingin menikmati pemandangan.  
Masih banyak hal yang patut dilakukan oleh Pemkab Tabanan sebagai pengelola kawasan Jatiluwih.  Tentu tugas besarnya adalah bagaimana mengembangkan potensi pariwisata di Jatiluwih semaksimal mungkin dan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga jangan sampai merusak kealamian di lokasi tersebut sebagai hal utama yang harus dijaga.

Comments

Popular Posts