Potensi Wisata Desa Munduk (2), Penginapan Puri Lumbung yang Jadi Pelopor


 DI awal 1980-an, Desa Munduk sama sekali tak dikenal. Baru awal 1990-an, wisata wilayah yang masuk Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ini, mulai dikembangkan. Nama Nyoman Bagiarta yang juga mantan Kepala Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata di Denpasar bisa dikatakan menjadi pelopornya.
------
 
Lewat penginapan Puri Lumbung yang dirintasnya, perlahan jasa akomodasi wisata di kawasan Desa Munduk mulai berkembang dengan pesat hingga sekarang. Seperti diakui putri Nyoman Bagiarta, Yudhi Ishwari, yang kini mengelola Puri Lumbung. Dikatakan tahun 1992, Puri Lumbung mulai dibangun dengan awalnya hanya berupa penginapan sederhana dengan kamar yang berjumlah tak lebih dari lima buah.

Diceritakannya, ketika itu sang ayah punya keinginan untuk mempromosikan Desa Munduk guna memberikan pilihan bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali, agar tak melulu terkonsentrasi hanya di Bali selatan saja. “Memberi pilihan karena wisata di sini berbeda tipenya dengan katakanlah di Kuta atau Nusa Dua. Jika di sana citranya riuh dan glamor, di sini kita lebih menjual ketenangan dan kesejukan, termasuk mereka yang ingin berwisata spiritual, menyepi, relaksasi, meditasi dan sejenisnya,” ujar Yudhi.

Segmen Berbeda
Segmen para wisatawan pun menurutnya juga berbeda, karena kebanyakan merupakan wisatawan asal Eropa, terutama berusia matang yang ingin mencari suasana baru yang tenang dan alami yang berlawanan dengan hiruk pikuk di Bali selatan. Untuk itu dijelaskannya, fasilitas-fasilitas yang ada di Desa Munduk pun sebisa mungkin dikondisikan demikian agar kesejukan dan ketenangan yang menjadi jualan utama tetap pada treknya.

“Tidak pas rasanya jika yang dibangun di sini adalah hotel megah dan mewah, malah akan merusak alam di sekitarnya. Warga setempat juga sudah sangat mengerti hal tersebut hingga mereka juga berkomitmen besar menjaga apa yang ada sekarang dan syukurnya sampai sekarang efek-efek negatif pariwisata yang ditakutkan banyak orang masih berada dalam taraf minimal di Munduk,” tuturnya.
 
Menurut Yudhi juga, perkembangan wisata berbasiskan alam di Munduk juga memberikan dampak positif pada warga setempat yang tentunya kecipratan rezeki dari mengalirnya wisatawan ke desa mereka. “Bahkan banyak juga warga, anak muda yang sebelumnya merantau ke kota, pulang lagi untuk mengembangkan wisata di desanya sendiri, buka usaha kecil-kecilan sehingga menghidupkan kembali perekonomian desa,” tuturnya.

Hal tersebut menurutnya sudah sejalan dengan keinginan ayahnya yang dulu bermaksud menahan dan memulangkan kembali generasi muda desa yang bekerja di kota untuk kembali bekerja dan mengembangkan desa sendiri. * 
---------------

 Menikmati Secangkir Kopi Luwak Munduk

 BICARA komoditas, hasil-hasil perkebunan warga Desa Munduk selain bisa menjadi sumber penghasilan dengan dijual mentah, juga diolah kembali guna memenuhi kebutuhan para pelancong khususnya adalah kopi. Selain memang terkenal dengan kualitas kopinya yang sudah dalam ranah ekspor, kopi luwak yang belakangan amat populer juga turut mengatrol nilai jual kopi setempat. Apalagi secara turun-temurun, kopi luwak memang sudah lama dikonsumsi warga setempat.

Perkebunan kopi yang bersebelahan langsung dengan hutan membuat binatang malam tersebut seringkali mencari makan ke perkebunan warga dan memakan biji kopi jenis arabica berwarna merah. Seiring dengan booming-nya kopi luwak, belasan hingga puluhan ekor luwak sengaja dibiarkan hidup liar dan ‘mengunjungi’ kebun warga dengan maksud memperoleh kotorannya. Luwak liar ini setiap hari memakan buah-buah kopi yang memerah di pohon. Setiap pagi, satu dua pekerja akan mengumpulkan kotoran luak yang berupa biji-biji kopi untuk dibersihkan, dijemur, lalu disangrai.

Ketika musim panen kopi, dengan mudah wisatawan melihat dan ikut memetik biji kopi yang tidak sempat dimakan luwak. Biji-biji kopi yang sudah dipetik lalu direndam dalam sebuah bak air sebelum dijemur, proses pemisahan kulit ari hingga proses sangrai. Kita juga dapat menyaksikan proses sangrai kopi yang memang banyak disediakan dalam paket trekking wisatawan. Warga Munduk menjual kopi mereka dalam bentuk biji dan dalam bentuk bubuk kopi yang sudah terkemas rapi.

Paduan yang Pas
Menikmati secangkir kopi nikmat beraroma tentu menjadi paduan yang pas di tengah dinginnya udara sembari menyaksikan keindahan alam Desa Munduk. I Nyoman Budi Artama, pemilik salah satu tempat pengolahan dan gerai kopi luwak dengan label ‘Kopi Luwak Munduk’ mengatakan, banyak wisatawan kesengsem dengan citarasa kopi luwak yang lembut dan relatif ringan di perut namun tetap menawarkan citarasa menawan. “Banyak wisatawan Jerman, Prancis dan lainnya yang berkali-kali datang untuk kembali menikmatinya di sini,” akunya.

Dijelaskannya, sebelum kopi luwak meledak seperti sekarang, kopi jenis ini justru menjadi hasil sampingan dan hanya dikonsumsi warga setempat. “Hasil panen kopi semuanya untuk dijual, sedangkan untuk konsumsi sendiri warga memunguti biji-biji kopi yang tercecer termasuk dari kotoran luwak,” jelasnya.
 
Meski banyak pemesanan termasuk untuk keluar negeri, Artama mengaku tidak bisa memenuhi semua permintaan karena stok yang terbatas untuk kopi yang terkenal mahal ini. “Karena kalau ingin menghasilkan yang benar-benar alami, harus berasal dari luwak liar. Jika berasal dari  luwak yang dikandangkan, pasti akan beda rasanya karena yang ada luwak tersebut akan stres dan malah tidak menghasilkan enzim-enzim khusus untuk mencerna kopi akan halnya luwak liar,” tandasnya. * 
------------    

Comments

  1. videoslot by youtube,cute videoslot by youtube,cute videoslot
    youtube,cute videoslot. youtube,cute videoslot by youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot, youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube,cute videoslot youtube playlist to mp3

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts