Menanti Peran Pelaku Seni Kontemporer Dalam Isu Krisis Air Lewat Panggung FSBJ 2022
Nyatanya, berdasarkan hasil studi World Resource Institute(2015), Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi mengalami krisis air pada tahun 2040. Bahkan pada Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, sudah memperkirakan bahwa kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan meningkat hingga tahun 2030.
Apa permasalahannya? Ternyata hal ini terkait dengan sangat pesatnya pemanfaatan kawasan-kawasan yang sebenarnya sangat efektif untuk menyerap air hujan, justru disulap untuk perumahan, perkantoran dan kawasan penunjang aktivitas manusia lainnya. Alhasil air hujan yang sekiranya terserap ke tanah malah mengalir begitu saja ke laut.
Hal ini diperburuk dengan masih rendahnya pembuatan biopori sebagai ‘penangkap’ air hujan, buruknya drainase di perkotaan hingga ketiadaan sistem yang mumpuni untuk menangani persoalan tersebut. Sementara itu, tingkat tercemarnya air tanah akibat limbah juga sangat tinggi. Di Ibukota Jakarta misalnya, menurut data Asian Development Bank (ADB), 45 persen air tanah tercemar bakteri tinja. 80 persen diantaranya mengandung bakteri E.coli yang menjadi sumber penyakit disentri, tifus, dan hepatitis.
Daerah lainnya? Tinggal tunggu waktu. Apalagi bicara Bali yang semakin tahun makin padat , makin sesak dengan industri terutama gemerlap pariwisata di bagian selatan. Karenanya, krisis air yang ada di depan mata ini bukan isapan jempol belaka. Sayangnya, isu krisis air bersih ini sedikit terpinggirkan karena dianggap kurang ‘seksi’ dan tentunya kalah dengan isu-isu viral lainnya. Bahkan mungkin kalah tenar dengan isu KDRT artis. Miris memang.
Karenanya, akan sangat membantu jika ajang kesenian multi genre seperti Festival Seni Bali Jani (FSBJ) ke-IV Tahun 2022 bisa jadi alternatif menyebarluaskan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu-isu lingkungan yang ada. Terlebih tahun ini ajang yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Bali yang dihelat pada Oktober 2022 mengangkat tema “Jaladhara Sasmita Danu Kerthi” (Air sebagai Sumber Peradaban)”.
Kesenian, sebagai bagian kebudayaan sangat bisa untuk dijadikan ‘sexy’ dan lebih mudah masuk ke dalam kesadaran masyarakat secara kolektif. Kesenian tentu punya daya yang lebih lewat kreatifitas dan inovasi seniman-senimannya sehingga lebih menarik untuk dinikmati, dirasakan dan diresapi. Tentu akan jauh lebih efektif dibandingkan menyodorkan setumpuk jurnal ilmiah berisi isu krisis air.
Tinggal sekarang bagaimana menjadikan kesenian yang tampil di FSBJ ini menjadi semacam kesenian yang mampu menjadi budaya massa, budaya populer yang mampu bersanding dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Minimal, mampu menarik perhatian anak-anak muda untuk lebih care pada isu-isu lingkungan terkini.
Mumpung, FSBJ selalu mendapatkan sorotan media massa karena menyertai nama orang nomor satu di Bali, yakni Gubernur Wayan Koster beserta sang istri Ny Putri Suastini. Nama-nama besar yang menyertainya tak pelak menjadi ‘bonus’ bagi seniman kontemporer di Bali, selain mendapatkan ruang pentas yang selama ini diidam-idamkan namun juga mendapatkan sorotan lebih luas untuk mengaktualisasikan dan menyampaikan pesan lewat karya-karyanya. Bisa melalui aksi teater, tari, musik dan pergelaran sastra lain.
Oleh karena itu pula, tema yang diangkat “Jaladhara Sasmita Danu Kerthi” (Air sebagai Sumber Peradaban)” akan jadi jauh lebih berarti jika bisa dirangkaikan dengan pesan-pesan lingkungan yang membangkitkan aware kita semua tentang isu krisis air bersih yang ada di depan mata ini. Agar tidak natinya, tema yang luar biasa estetik, indah dan extravagant ini hanya sekedar tema kosong karena peradaban di masa depan berdiri diatas air yang tercemar .
“
Comments
Post a Comment